Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam. Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya. Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya. Kamu cantik Ghozzan,... bisikku perlahan. Tanpa terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ketiga tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Tuhan... karuniakan kepada kami anak, seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah. Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini. Aku yakin, Tuhan menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,... itu pasti!!
"Ghozzan..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan.
Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah... aku sayang padamu Ghozzan ....
Akhirnya, aku beranjak sendirian. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam sholat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Ya Tuhan, jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Jam dinding berdentang tiga kali, kulihat Ghozzan sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku.
Ghozzan semakin merajuk. "Si Mas mesti begitu...., ngak bangunin Ghozzan....," protesnya. Aku tersenyum arif.
"Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..."
"Iya deeh..., tapi nanti temani Ghozzan muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku. Maklum besar di betawi.
Ghozzan tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku. Ghozzan masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu. Sering kulihat Ghozzan termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium kami.
Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu. Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu. "Ssst...., Muslimah kok hobi bengong, siih..?" bisikku persis di telinganya. Ghozzan tersentak kaget.
Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun. "Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya bertelur....," katanya perlahan. "Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak berkedip, lama banget.
Itu bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.
"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar.
Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Tuhan...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Allah ada hikmahnya....," tuturku, mencoba tegar.
Ghozzan tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja makan. Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya seharian.
Ah Ghozzan... Ghozzan... Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri seccara intensif pada dokter kandungan.Hasilnya kami berdua normal! Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan berusaha tentunya.Yah.. barangkali kami berdua memang sedang diuji.
"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ghozzan suatu kali.
Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ghozzan dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam, apa aku sanggup??
Kucubit pipi istriku perlahan. "Nggak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan Ghozzan bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil?" "Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga?" "Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan!!" protesku pura-pura galak. Kudekap kepala mungilnya erat-erat.
Hari ini ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah duapuluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu Ghozzan bilang, ubanku ada enam lembar!!
Dan sampai saat ini kami belum di percaya Tuhan untuk menimang seorang anak.
Tapi aku masih cinta Ghozzan. Dan, tidak akan pernah pudar. Wajah Ghozzan yang oval dengan hidung yang bangir dan mulutnya kelihatan merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan besar yang tertutup ke arah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja. "Sini Mas....," ajaknya. Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut. Mataku berkaca-kaca.
Perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue taart, romantis sekali. Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ghozzan
merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya.
Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum. Tak urung kuraih pisau lalu,
"Bismillahirrohmanirrohiim...," kupotong taart itu.
Ghozzan tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ghozzan menggeleng. Makan dulu...., katanya. Ku garuk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga. Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ghozzan protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya. Dan ..., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian alam!!! Ghozzan hamil!!!
Masya Allah ..., setelah sekian tahun!!! ...Seketika aku tersungkur sujud.
Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ghozzan erat-erat. Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ghozzan.Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku.
"Mas menangis?" tanyanya retoris.
Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang ?" protesku.
"Biarin, nanti nggak surprise....," katanya.
Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ghozzan seperti dulu. Kudekap Ghozzan makin erat. Sejak hari itu, kesehatan Ghozzan menjadi perhatian utamaku. Aku sering marah-marah kalau Ghozzan masih juga suka menulis sampain larut malam. Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.
****
Sembilan bulan, lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba ...., tadi pagi Ghozzan sudah mulas-mulas. Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai ke depan. Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah. Ghozzan masih mengeluh mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh .... air ketubannya sudah pecah!
****
Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu. Ya Tuhan... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa. Ya Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku...., bisikku berulang kali. "Bapak Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin. "Ya ....., saya dokter ..," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu. "Ada sedikit
kelainan, harus dioperasi ...... Suster!, tolong bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini....," kata dokter itu. Aku tersentak kaget! Operasi?!?
Astaghfirullah..... "Tapi ...., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter??" tanyaku khawatir.
Dokter itu terdiam. "Berdo'alah ...," katanya pelan. Kugigit bibirku erat-erat. Tuhan ..., selamatkan istri dan anakku...... Kuambil wudhu dan sholat di musholla. Kuhabiskan gelisahku disana. Tiba-tiba terdengar
tangis bayi. "Anakku ....," desisku perlahan. Aku seperti dituntun nuraniku. Bergegas keluar musholla. "Bapak Saiful Bahri?"
"Ya, dokter ..."
"Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya.....," kata dokter itu. "Alhamdulillah ...," desisku berulang-ulang.
"Istri saya dokter ?"
Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di segenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya. Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan,
sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula. Mulutku ternganga seketika
....
"Maafkan...., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain......," katanya. Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung .... Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa. Sesosok tubuh ditutup kain putih terbaring ....Perlahan dokter itu
membuka kain penutupnya. INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI'UUN...
Wajah Ghozzan terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis ..., maniiis sekali. Kudekap kepala Ghozzan erat-erat ...., tangisku tak tertahankan.....
"Sabar .... sabar ...Pak ...," hibur dokter itu.
"Suster, bawa kemari , anak Bapak Saiful ...," katanya lagi.
Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku. Perlahan ...ku
gendong dan kutatap ia ... . Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ghozzan berganti-ganti.
Mereka begitu mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allah Akbar!!!
Rupanya inilah hikmah itu, Ghozzan...., Tuhan memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya....
Ya, Tuhan jangan biarkan hatiku berandai-andai..... seandainya saja kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ghozzan ....
Tidak, ini semua takdir Mu ya Robbi ....
SELAMAT JALAN GHOZZAN ............................
(Kiriman dr sebuah milist)
Abu Adiyat,
Setiap membaca tulisan ini, mataku selalu basah...entah...
5 komentar:
i wish you might write in english
" Setiap membaca tulisan ini, mataku selalu basah...entah... "
mataku tidak basah... tapi..
hati ini bergetar hebat dibuatnya...
great post...!!!
hiks...
nyentuh banget na..
subhanallah, menanti dengan penuh sabar, menanti dengan keikhlasan...
menangis ketika membaca tlisan ini, mengingat kami juga sedang menanti persalinan jundi kami yang pertama...
Posting Komentar