Laman

Rabu, 20 Februari 2013

Pengalaman Bersama Si “Roda Dua”


Spin yang jatuh di Pangkep
Si “Roda Dua”, jenis kendaraan ini merupakan yang terbanyak dimiliki oleh penduduk bumi saat ini. Selain modelnya yang bermacam-macam, harganya yang terjangkau, dan sangat mudah untuk digunakan, Si “Roda Dua” ini sangat irit digunakan dan sangat mudah dimodifikasi sesuai keinginan & budget pemiliknya. Untuk manufaktur, ada beberapa negara yang menguasai pembuatan Si “Roda Dua” ini. Sebut saja Jepang, Amerika, Korea, Bahkan Cina. Entah itu hanya dirasakan saya saja, atau oleh pengguna lain Si “Roda Dua” ini, seakan ada pengalaman dan sensasi tersendiri saat mengendarai Si “Roda Dua” ini.
Roda Dua miliki keluargaku yang pertama adalah Honda Bebek biru-putih. Roda Dua inilah yang mengantar kami sekeluarga kemana-mana (ada Bapak, Ibu, Kakak saya Awie, saya & adik saya Unni). Tiap pagi bapak mengendarai Si Roda Dua ini untuk mengantar saya dan Awie ke sekolah kami di daerah Karebosi (TK Islam Athirah) yang ditempuh selama 1 jam dari daerah Antang. Pulang sekolah, kami diantar bus sekolah ke rumah Dato’ di Jl. Kelinci. Sorenya, sepulang kantor, ibu datang menjemput kami untuk kemudian dibawa pulang ke rumah. Suara Roda Dua ini sangat ribut, dan lumayan berat. Belum lagi kalau saya dan Awie pake acara tidur di atas Si Roda Dua, jadilah ibu kewalahan dan harus menepi sebentar untuk membangunkan kami berdua. Ibu itu sudah mahir mengendarai Si Roda Dua masih sekolah. Roda Dua pertamanya adalah Vespa, yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri sebagai Asisten Apoteker di beberapa apotik dan sebagai PNS di Dinas Kesehatan Makassar. Jangan salah, Vespa adalah salah satu jenis roda dua yang sulit digunakan karena memakai kopling dan lumayan berat. Mungkin bakat mengendarai Si Roda Dua ini menurun ke putrinya ini sekarang. Si Honda bebek dijual, kemudian diganti dengan Roda Dua kami yang kedua.

Roda Dua kedua kami adalah Yamaha Bebek, dimana Roda Dua ini selalu mengundang perhatian setiap kali ingin belok kanan atau kiri. Ini disebabkan suara weser belok kanan-kirinya yang nyaring terdengar setiap kali belokan. Masih setia dengan tugas utamanya, Si Roda Dua ini mengantar kami ke tempat aktivitas masing-masing. Tak lama setelah Yamaha bebek ini dijual, keluarga kami kemudian mendapatkan sekaligus 2 Si Roda Dua. Satu roda dua dinas dari kantor bapak, mereknya Honda RX King dengan plat merah. Satu lagi roda dua hasil cicilan ibu ke dealer dan berhasil mendatangkan Honda Astrea. Kedua Roda Dua ini digunkaan setelah kami pindah ke rumah kami di kawassan Mawar, Panakkukang. Roda dua punya bapak digunakan untuk mengantar kami berdua ke sekolah (Awie di SMP 6 dan saya di SD Sudirman), sedang roda dua punya ibu digunakan untuk mengantar Unni ke TK nya dan ibu ke kantornya yang jaraknya hanya 5 menit dari rumah. Alhamdulillah kedua roda dua ini sangat membantu. Sampai beberapa waktu kemudian, Si Honda Astrea punya ibu raib digondol orang di parkiran salah satu pusat perbelanjaan daerah Panakkukang saat itu. Sampai sekarang roda dua ibu ini tidak ditemukan lagi. Jadinya tinggal roda dua punya bapak yang menjadi tunggangan utama kami.

Setelah resmi keluar dari tempat kerjanya, Si RZ King dikembalikan ke kantor bapak. Walhasil bapak mengambil roda dua baru, si Honda Legenda yang sangat ringan. Legenda dibeli setelah kami pindah ke rumah Dato’ di daerah Veteran. Si Legenda inilah yang mengantar kami bersaudara ke 3 tempat berbeda setiap paginya (Awie di SMA 3, saya di SMP 6, dan Unni di SD Sudirman). Si Legenda tergolong kecil untuk mengangkut 4 orang sekaligus, jadilah formasi kami selalu sama setiap pagi. Bapak mengendarai motor, Unni duduk di depan bapak, sementara saya di belakang bapak dan Awie paling belakang. Rute kami pun selalu sama tiap pagi. Awie diantar duluan ke SMA 3 karena yang paling dekat dengan rumah, kemudian saya di SMP 6 dan Unni di SD Sudirman yang berada di daerah Lapangan Karebosi, pusat Kota Makassar. Tetapi, Legenda adalah roda dua kami yang tangguh. Legenda ini pula yang mengajarkan saya pertama kali cara mengendarai roda dua. Walaupun masih belajar di jalan kecil, bolak-balik, diperhatikan bapak pula. Walaupun sudah bisa mengendarai roda dua sejak SMP, saya belum berani membawa roda dua ke jalan raya. Belum berani memperkenalkan Legenda kepada roda dua yang lain dengan saya di atasya. Setelah Legenda dijual, jadilah Honda Tiger menemani pengembaraan keluarga kami selanjutnya di jalan. Si Tiger ini hanya bisa digunakan oleh bapak, mungkin karena body nya yang tinggi dan lumayan berat. Modelnya Si Tiger memang keren, apalagi dengan warna silver nya yang selalu kinclong karena rajin dimandikan oleh bapak tiap pagi dan sore. Tak lama Si Tiger ini harus kami jual, karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Jadilah Si Honda Supra Fit silver menemani kami selalu.

Setelah SMA, saya berani mengendarai roda dua milik teman dalam kompleks rumahnya. Mengantar dan menjemput teman belajar kelompok dari tempat pemberhentian pete-pete yang lumayan jauh di luar kompleks. Masih belum berani di jalan raya, tapi ternyata naas, saat akan memasuki halaman rumah teman, sudut setir si roda dua tidak berubah banyak, jadilah saya dan teman saya mendarat di dalam selokan depan rumah teman. Dengan oleh-oleh lebam di kaki, lecet di lutut dan siku, juga tak lupa trauma mengendarai si roda dua dalam kepala, pulanglah saya ke rumah. Untung saja teman saya yang dibonceng itu hanya lecet sedikit di siku, dan si roda dua milik teman yang lain itu hanya pecah pelindung plat nomornya.  Dengan janji di dada bahwa saya tidak akan membawa motor lagi setelah kejadian itu.

Setelah saya kuliah, bapak menyusul ibu, Awie dan Unni yang sudah pindah duluan ke Palopo karena ibu minta dimutasi ke kampong halamannya. Jadilah tinggal saya sendiri di Makassar, tinggal di rumah Dato’. Karena trauma dan janji untuk tidak mengendarai roda dua lagi, akhirnya Si Supra Fit dijual ke salah satu Om saya.

Beberapa tahun berselang, trauma dan janji untuk tidak mengendarai roda dua lagi harus dipertarungkan dengan keadaan pada saat KKN. Saat itu, kendaraan dinas posko kami hanyalah 1 mobil Taruna dan 4 buah roda dua. Posko kami terdiri dari 6 orang perempuan & 4 laki-laki. Si Taruna tidak bisa selalu digunakan karena kurang bisa menembus medan lokasi KKN saat itu. Kondisi sebagai seorang muslimah yang sudah berjilbab rapi & tidak ingin dibonceng laki-laki lain selain tukang ojek, keluarga dekat dan suami saya kelak tersebut, mau tidak mau harus memaksa saya agar mengendarai si roda dua lagi. Teman2 posko yang perempuan juga sudah berjilbab rapi, belum lagi 2 orang teman posko yang laki-laki juga sudah ikut pengajian di kampus jadi tidak mau juga membonceng kami yang akhwat. Yang tau mengendarai roda dua hanya saya dan Farni. Masing-masing diberikan 1 roda dua sebagai kendaraan dinas bagi perempuannya, jadi harus pulang-balik untuk mengantar teman yang satu dan menjemput teman yang lain untuk diantar ke tempat yang sama. Kondisi jalan desa yang bergelombang, penuh batu, serta jarak posko yang lumayan jauh dari SD, Balai Desa, mesjid yang merupakan tempat aktifitas kami sehari-hari membuat saya semakin ahli mengendarai si roda dua. Sekali lagi, belum berani keluar ke jalan raya.

Sepulang dari KKN, trauma itu kembali lagi. Tidak berani lagi mengendarai motor, karena kondisi lalu lintas Makassar yang padat, sangat berbeda dengan jalan desa KKN dulu yang sepi walaupun tidak rata.

Beberapa tahun kemudian, roda dua jenis Matic sudah mulai bermunculan. Saat liburan Idul Fitri di Palopo, ibu menyempatkan diri mengajarkan cara mengendarai roda dua jenis ini. Modelnya yang nyaman dan menurut ku lebih simple tanpa harus ribet oper gigi dan rem kaki, bagaikan naik sepeda tapi tidak perlu mengayuh. Walhasil, jenis roda dua ini berhasil mengembalikan kepercayaan diriku mengendarai si roda dua. Sepulang dari Palopo kuberanikan diri membuat SIM C dan mulai mengendarai Si Matic jenis Suzuki Spin punya tante di rumah yang teronggok tak terpakai karena gak tau bawanya. Rute pertamaku naik roda dua di jalan raya adalah dari rumah dato’ di Veteran Selatan menuju Kolam Renang UNM di Banta-Bantaeng, sekitar 15 menit perjalanan dengan kecepatan 20 km/jam, heheheh…. Deg-deg jer waktu bawanya. Habis berenang, diminta antar teman ke suatu tempat. Ini pengalaman pertamaku membonceng orang di jalan raya. Walhasil, setelah sampai, temanku bilang “lambat skali jalannya kak, baru belajar yah?”. Sebagai apologi, kujawab saja, “Iya nih, pengalaman pertama di jalan raya. Terima kasih sudah menjadi boncengan pertamaku” Xixixixi…. J

Lama-kelamaan Si Spin semakin lancar saja kubawa. Rute Veteran-Unhas kutempuh tiap hari. Belum lagi jadi ojek bwt tante yang punya Si Spin kemana-mana. Kecepatannya pun sudah standar 40 km/jam, dengan kelihaian meliuk-liuk di antara roda empat di jalan raya Makassar yang padat dan penuh dengan orang yang tidak sabaran dengan klaksonnya yang selalu berbunyi. Paling ekstrim lagi, Si Spin kubawa ke Pangkep dalam rangka ngambil tugas akhir di PT. Semen Tonasa. Rute Makassar-Pangkep sejauh +/- 50 Km dapat ditempuh dengan perjalanan 1 jam. Tergolong cepat sih, karena kecepatan standarku antara 60km/jam-90 km/jam. Dari rute ini pula, kecelakaan kedua bersama si roda dua kualami. Sampai saat ini, inilah kecelakaanku yang terparah saat mengendarai si roda dua. Walhasil rok ku robek, lecet besar  berhasil ditorehkan di lutut, di siku, di pergelangan kaki, bahkan sampai mata kaki yang sempat gak keliatan karena keseleo. Beberapa pekan harus tinggal di rumah, shalat harus dalam keadaan duduk, wudhu pun diganti dengan tayammum karena banyaknya lecet, bahkan berpindah tempat pun harus ngesot. Lumayan, beberapa minggu mendekam di rumah. Alhamdulilah banyak teman-teman yang datang. Kecelakaan ini berhasil saya sembunyikan dari ibu di daerah. Baru ketahuan setelah sarjana, hehehehe. Maaf yah bu, bukannya tidak mau jujur. Hanya tidak mau ibu jadi terlalu khawatir. /(^_^)\
Pulih dari cedera kali ini, tidak menjadikan saya kapok membawa motor. Bahkan semakin lincah dan lebih berani tancap gas. Tapi ada 1 hal yang pasti, lebih taat aturan dan rambu-rambu lalu lintas. Contohnya, tidak menerima boncengan kalau yang dibonceng tidak pakai helm, lebih memilih memutar jauh daripada melintas di jalur orang, tidak parkir sembaangan, menghargai pejalan kaki, tidak menerobos lampu merah, dll. Tahun 2010, ”Humairah” resmi kumiliki (Honda Beat merah, keluaran tahun 2009) meskipun berstatus motor bekas. Sudah menjadi kebiasaanku dan beberapa orang teman-temanku memberi nama bagi barang-barang pribadiku, HP Sony Ericsson ku yang pertama namanya “Mas Sony”, HP Sony Ericsson yang kedua namanya “Mas Eric”, wkwkwkwk…. Walalupun “Humairah” motor bekas, tapi kondisinya masih bagus. Seperti kebanyakan orang, walalupun motor bekas, tapi bayarnya cicil (belum sanggup bayar cash). Uang mukanya 1 juta, dicicil selama 3 tahun (tiap bulan bayar 460 ribu). Uang mukanya dari ibu, cicilannya saya bayar sendiri (alhamdulillah sudah ada gaji bulanan dari hasil kerja di Rumah Zakat). Kerjaan saya di RZ mengharuskan saya harus memiliki kendaraan sendiri. Karena kerjanya tiap hari harus ketemu donatur. Dari 1 kantor ke kantor lain, dari 1 rumah ke rumah lain. Selain cicilan motor, tiap bulan Humairah harus servis tune-up & 1 aksesoris baru. Jadi, untuk motor cewek, Humairah full aksesoris lah, hehehehe…. Selama 1 tahun di RZ, alhamdulillah dipanggil kerja di Sorowako (masih kontraktor sih buat INCO). Hampir semua barang kubawa pindah (kecuali buku-buku kuliah), termasuk Humairah. Humairah dikirim ke Sorowako via ekspedisi. Alhamdulillah tiba dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun. Lengkap dengan 2 buah helm racing ku (yang akhirnya helm ku si “MAZ” hilang di parkiran plan site Vale/Inco). Alhamdulillah sudah hampir 2 tahun saya & Humairah tinggal di Sorowako. Di Sorowako ini pula Humairah resmi menjadi miliki saya karena cicicallnya sudah lunas. Sudut-sudut di Sorowako dari Salonsa, Pontada, Pantai Ide, Yacht Club, Lapangan Botak, Pasar F, Pasar Sorowako, Mesjid Al-Ikhwan, Plant Site, bahkan yang paling jauh di Wawondula sudah kami lalui. Sudah banyak memori bersama Humairah yang berkesan juga selama di Sorowako. Mulai dari ban bocor di antara Plant Site & Gunung Batu waktu Maghrib di bulan Ramadhan (sukses dorong motor& buka puasa di pinggir jalan), ada juga bolak-balik Plant Site – Dormitory setiap hari demi datang lebih awal & pulang lebih lama ke kantor, ada juga pengalaman buka jasa “pinjaman motor” motor buat adik-adik Co-Ops, ngantar Kak Titin ke Transport buat naik Scania (bis nya tinggal nunggu Kak Titin doang tuh, sukses ngerjain orang 1 bis, xixixixi…). Dan yang paling berkesan naik motor bertiga sama Nafi’ah & Naufal (anak-anak Kak Naim) ke Yacht Club buat ngantar mereka berenang disana. Yang terakhir ini paling berkesan karena amanahnya besar banget (harus jagain anak orang bo’). Naufal duduk di belakang, Nafi’ah berdiri di depan lengkap dengan helm & kacamata hitamnya masing-masing (dikalah gaya nih sama anak-anak, wkwkwkwk…). Sampai ngurusan baju ganti, makan, dll. Yah, gitu deh pengalaman si “Roda Dua”. Ini ceritaku, apa ceritamu?

1 komentar:

athirah mengatakan...

Assalamu 'alaykum..

Ina.. ini athirah. Masih kita' kenal jeka'? : )