Spin yang jatuh di Pangkep |
Si “Roda Dua”, jenis kendaraan ini merupakan yang terbanyak
dimiliki oleh penduduk bumi saat ini. Selain modelnya yang bermacam-macam,
harganya yang terjangkau, dan sangat mudah untuk digunakan, Si “Roda Dua” ini
sangat irit digunakan dan sangat mudah dimodifikasi sesuai keinginan &
budget pemiliknya. Untuk manufaktur, ada beberapa negara yang menguasai
pembuatan Si “Roda Dua” ini. Sebut saja Jepang, Amerika, Korea, Bahkan Cina.
Entah itu hanya dirasakan saya saja, atau oleh pengguna lain Si “Roda Dua” ini,
seakan ada pengalaman dan sensasi tersendiri saat mengendarai Si “Roda Dua” ini.
Roda Dua kedua kami adalah Yamaha Bebek, dimana Roda Dua ini
selalu mengundang perhatian setiap kali ingin belok kanan atau kiri. Ini
disebabkan suara weser belok kanan-kirinya yang nyaring terdengar setiap kali
belokan. Masih setia dengan tugas utamanya, Si Roda Dua ini mengantar kami ke
tempat aktivitas masing-masing. Tak lama setelah Yamaha bebek ini dijual,
keluarga kami kemudian mendapatkan sekaligus 2 Si Roda Dua. Satu roda dua dinas
dari kantor bapak, mereknya Honda RX King dengan plat merah. Satu lagi roda dua
hasil cicilan ibu ke dealer dan berhasil mendatangkan Honda Astrea. Kedua Roda
Dua ini digunkaan setelah kami pindah ke rumah kami di kawassan Mawar,
Panakkukang. Roda dua punya bapak digunakan untuk mengantar kami berdua ke
sekolah (Awie di SMP 6 dan saya di SD Sudirman), sedang roda dua punya ibu
digunakan untuk mengantar Unni ke TK nya dan ibu ke kantornya yang jaraknya
hanya 5 menit dari rumah. Alhamdulillah kedua roda dua ini sangat membantu.
Sampai beberapa waktu kemudian, Si Honda Astrea punya ibu raib digondol orang
di parkiran salah satu pusat perbelanjaan daerah Panakkukang saat itu. Sampai
sekarang roda dua ibu ini tidak ditemukan lagi. Jadinya tinggal roda dua punya
bapak yang menjadi tunggangan utama kami.
Setelah resmi keluar dari tempat kerjanya, Si RZ King
dikembalikan ke kantor bapak. Walhasil bapak mengambil roda dua baru, si Honda
Legenda yang sangat ringan. Legenda dibeli setelah kami pindah ke rumah Dato’
di daerah Veteran. Si Legenda inilah yang mengantar kami bersaudara ke 3 tempat
berbeda setiap paginya (Awie di SMA 3, saya di SMP 6, dan Unni di SD Sudirman).
Si Legenda tergolong kecil untuk mengangkut 4 orang sekaligus, jadilah formasi
kami selalu sama setiap pagi. Bapak mengendarai motor, Unni duduk di depan
bapak, sementara saya di belakang bapak dan Awie paling belakang. Rute kami pun
selalu sama tiap pagi. Awie diantar duluan ke SMA 3 karena yang paling dekat
dengan rumah, kemudian saya di SMP 6 dan Unni di SD Sudirman yang berada di
daerah Lapangan Karebosi, pusat Kota Makassar. Tetapi, Legenda adalah roda dua
kami yang tangguh. Legenda ini pula yang mengajarkan saya pertama kali cara
mengendarai roda dua. Walaupun masih belajar di jalan kecil, bolak-balik,
diperhatikan bapak pula. Walaupun sudah bisa mengendarai roda dua sejak SMP,
saya belum berani membawa roda dua ke jalan raya. Belum berani memperkenalkan
Legenda kepada roda dua yang lain dengan saya di atasya. Setelah Legenda
dijual, jadilah Honda Tiger menemani pengembaraan keluarga kami selanjutnya di
jalan. Si Tiger ini hanya bisa digunakan oleh bapak, mungkin karena body nya
yang tinggi dan lumayan berat. Modelnya Si Tiger memang keren, apalagi dengan
warna silver nya yang selalu kinclong karena rajin dimandikan oleh bapak tiap
pagi dan sore. Tak lama Si Tiger ini harus kami jual, karena terdesak oleh
kebutuhan ekonomi. Jadilah Si Honda Supra Fit silver menemani kami selalu.
Setelah SMA, saya berani mengendarai roda dua milik teman
dalam kompleks rumahnya. Mengantar dan menjemput teman belajar kelompok dari
tempat pemberhentian pete-pete yang lumayan jauh di luar kompleks. Masih belum
berani di jalan raya, tapi ternyata naas, saat akan memasuki halaman rumah
teman, sudut setir si roda dua tidak berubah banyak, jadilah saya dan teman
saya mendarat di dalam selokan depan rumah teman. Dengan oleh-oleh lebam di
kaki, lecet di lutut dan siku, juga tak lupa trauma mengendarai si roda dua
dalam kepala, pulanglah saya ke rumah. Untung saja teman saya yang dibonceng
itu hanya lecet sedikit di siku, dan si roda dua milik teman yang lain itu
hanya pecah pelindung plat nomornya.
Dengan janji di dada bahwa saya tidak akan membawa motor lagi setelah
kejadian itu.
Setelah saya kuliah, bapak menyusul ibu, Awie dan Unni yang
sudah pindah duluan ke Palopo karena ibu minta dimutasi ke kampong halamannya.
Jadilah tinggal saya sendiri di Makassar, tinggal di rumah Dato’. Karena trauma
dan janji untuk tidak mengendarai roda dua lagi, akhirnya Si Supra Fit dijual
ke salah satu Om saya.
Beberapa tahun berselang, trauma dan janji untuk tidak
mengendarai roda dua lagi harus dipertarungkan dengan keadaan pada saat KKN.
Saat itu, kendaraan dinas posko kami hanyalah 1 mobil Taruna dan 4 buah roda
dua. Posko kami terdiri dari 6 orang perempuan & 4 laki-laki. Si Taruna
tidak bisa selalu digunakan karena kurang bisa menembus medan lokasi KKN saat
itu. Kondisi sebagai seorang muslimah yang sudah berjilbab rapi & tidak
ingin dibonceng laki-laki lain selain tukang ojek, keluarga dekat dan suami
saya kelak tersebut, mau tidak mau harus memaksa saya agar mengendarai si roda
dua lagi. Teman2 posko yang perempuan juga sudah berjilbab rapi, belum lagi 2
orang teman posko yang laki-laki juga sudah ikut pengajian di kampus jadi tidak
mau juga membonceng kami yang akhwat. Yang tau mengendarai roda dua hanya saya
dan Farni. Masing-masing diberikan 1 roda dua sebagai kendaraan dinas bagi
perempuannya, jadi harus pulang-balik untuk mengantar teman yang satu dan
menjemput teman yang lain untuk diantar ke tempat yang sama. Kondisi jalan desa
yang bergelombang, penuh batu, serta jarak posko yang lumayan jauh dari SD,
Balai Desa, mesjid yang merupakan tempat aktifitas kami sehari-hari membuat
saya semakin ahli mengendarai si roda dua. Sekali lagi, belum berani keluar ke
jalan raya.
Sepulang dari KKN, trauma itu kembali lagi. Tidak berani
lagi mengendarai motor, karena kondisi lalu lintas Makassar yang padat, sangat
berbeda dengan jalan desa KKN dulu yang sepi walaupun tidak rata.
Beberapa tahun kemudian, roda dua jenis Matic sudah mulai
bermunculan. Saat liburan Idul Fitri di Palopo, ibu menyempatkan diri
mengajarkan cara mengendarai roda dua jenis ini. Modelnya yang nyaman dan
menurut ku lebih simple tanpa harus ribet oper gigi dan rem kaki, bagaikan naik
sepeda tapi tidak perlu mengayuh. Walhasil, jenis roda dua ini berhasil
mengembalikan kepercayaan diriku mengendarai si roda dua. Sepulang dari Palopo
kuberanikan diri membuat SIM C dan mulai mengendarai Si Matic jenis Suzuki Spin
punya tante di rumah yang teronggok tak terpakai karena gak tau bawanya. Rute
pertamaku naik roda dua di jalan raya adalah dari rumah dato’ di Veteran
Selatan menuju Kolam Renang UNM di Banta-Bantaeng, sekitar 15 menit perjalanan
dengan kecepatan 20 km/jam, heheheh…. Deg-deg jer waktu bawanya. Habis
berenang, diminta antar teman ke suatu tempat. Ini pengalaman pertamaku
membonceng orang di jalan raya. Walhasil, setelah sampai, temanku bilang
“lambat skali jalannya kak, baru belajar yah?”. Sebagai apologi, kujawab saja,
“Iya nih, pengalaman pertama di jalan raya. Terima kasih sudah menjadi
boncengan pertamaku” Xixixixi…. J
Lama-kelamaan Si Spin semakin lancar saja kubawa. Rute
Veteran-Unhas kutempuh tiap hari. Belum lagi jadi ojek bwt tante yang punya Si
Spin kemana-mana. Kecepatannya pun sudah standar 40 km/jam, dengan kelihaian
meliuk-liuk di antara roda empat di jalan raya Makassar yang padat dan penuh
dengan orang yang tidak sabaran dengan klaksonnya yang selalu berbunyi. Paling
ekstrim lagi, Si Spin kubawa ke Pangkep dalam rangka ngambil tugas akhir di PT.
Semen Tonasa. Rute Makassar-Pangkep sejauh +/- 50 Km dapat ditempuh dengan
perjalanan 1 jam. Tergolong cepat sih, karena kecepatan standarku antara
60km/jam-90 km/jam. Dari rute ini pula, kecelakaan kedua bersama si roda dua
kualami. Sampai saat ini, inilah kecelakaanku yang terparah saat mengendarai si
roda dua. Walhasil rok ku robek, lecet besar
berhasil ditorehkan di lutut, di siku, di pergelangan kaki, bahkan
sampai mata kaki yang sempat gak keliatan karena keseleo. Beberapa pekan harus
tinggal di rumah, shalat harus dalam keadaan duduk, wudhu pun diganti dengan
tayammum karena banyaknya lecet, bahkan berpindah tempat pun harus ngesot.
Lumayan, beberapa minggu mendekam di rumah. Alhamdulilah banyak teman-teman
yang datang. Kecelakaan ini berhasil saya sembunyikan dari ibu di daerah. Baru
ketahuan setelah sarjana, hehehehe. Maaf yah bu, bukannya tidak mau jujur.
Hanya tidak mau ibu jadi terlalu khawatir. /(^_^)\
Pulih dari cedera kali ini, tidak menjadikan
saya kapok membawa motor. Bahkan semakin lincah dan lebih berani tancap gas.
Tapi ada 1 hal yang pasti, lebih taat aturan dan rambu-rambu lalu lintas.
Contohnya, tidak menerima boncengan kalau yang dibonceng tidak pakai helm,
lebih memilih memutar jauh daripada melintas di jalur orang, tidak parkir
sembaangan, menghargai pejalan kaki, tidak menerobos lampu merah, dll. Tahun
2010, ”Humairah” resmi kumiliki (Honda Beat merah, keluaran tahun 2009)
meskipun berstatus motor bekas. Sudah menjadi kebiasaanku dan beberapa orang
teman-temanku memberi nama bagi barang-barang pribadiku, HP Sony Ericsson ku
yang pertama namanya “Mas Sony”, HP Sony Ericsson yang kedua namanya “Mas
Eric”, wkwkwkwk…. Walalupun “Humairah” motor bekas, tapi kondisinya masih
bagus. Seperti kebanyakan orang, walalupun motor bekas, tapi bayarnya cicil
(belum sanggup bayar cash). Uang mukanya 1 juta, dicicil selama 3 tahun (tiap
bulan bayar 460 ribu). Uang mukanya dari ibu, cicilannya saya bayar sendiri
(alhamdulillah sudah ada gaji bulanan dari hasil kerja di Rumah Zakat). Kerjaan
saya di RZ mengharuskan saya harus memiliki kendaraan sendiri. Karena kerjanya
tiap hari harus ketemu donatur. Dari 1 kantor ke kantor lain, dari 1 rumah ke
rumah lain. Selain cicilan motor, tiap bulan Humairah harus servis tune-up
& 1 aksesoris baru. Jadi, untuk motor cewek, Humairah full aksesoris lah,
hehehehe…. Selama 1 tahun di RZ, alhamdulillah dipanggil kerja di Sorowako
(masih kontraktor sih buat INCO). Hampir semua barang kubawa pindah (kecuali
buku-buku kuliah), termasuk Humairah. Humairah dikirim ke Sorowako via
ekspedisi. Alhamdulillah tiba dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun.
Lengkap dengan 2 buah helm racing ku (yang akhirnya helm ku si “MAZ” hilang di
parkiran plan site Vale/Inco). Alhamdulillah sudah hampir 2 tahun saya &
Humairah tinggal di Sorowako. Di Sorowako ini pula Humairah resmi menjadi
miliki saya karena cicicallnya sudah lunas. Sudut-sudut di Sorowako dari
Salonsa, Pontada, Pantai Ide, Yacht Club, Lapangan Botak, Pasar F, Pasar
Sorowako, Mesjid Al-Ikhwan, Plant Site, bahkan yang paling jauh di Wawondula
sudah kami lalui. Sudah banyak memori bersama Humairah yang berkesan juga
selama di Sorowako. Mulai dari ban bocor di antara Plant Site & Gunung Batu
waktu Maghrib di bulan Ramadhan (sukses dorong motor& buka puasa di pinggir
jalan), ada juga bolak-balik Plant Site – Dormitory setiap hari demi datang
lebih awal & pulang lebih lama ke kantor, ada juga pengalaman buka jasa
“pinjaman motor” motor buat adik-adik Co-Ops, ngantar Kak Titin ke Transport
buat naik Scania (bis nya tinggal nunggu Kak Titin doang tuh, sukses ngerjain
orang 1 bis, xixixixi…). Dan yang paling berkesan naik motor bertiga sama
Nafi’ah & Naufal (anak-anak Kak Naim) ke Yacht Club buat ngantar mereka
berenang disana. Yang terakhir ini paling berkesan karena amanahnya besar
banget (harus jagain anak orang bo’). Naufal duduk di belakang, Nafi’ah berdiri
di depan lengkap dengan helm & kacamata hitamnya masing-masing (dikalah
gaya nih sama anak-anak, wkwkwkwk…). Sampai ngurusan baju ganti, makan, dll.
Yah, gitu deh pengalaman si “Roda Dua”. Ini ceritaku, apa ceritamu?
1 komentar:
Assalamu 'alaykum..
Ina.. ini athirah. Masih kita' kenal jeka'? : )
Posting Komentar